Minggu, 06 November 2011

Perkembangan Pendidikan dan Kesadaran Nasional Indonesia



Salah satu akibat buruk yang disarankan bangsa Indonesia akibat penjajahan adalah keterbelakangan di bidang pendidikan. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi pribumi sangat terbatas. Hanya kalangan tertentu yang bisa mengenyam pendidikan secara lebih baik. Mereka adalah kalangan menak dan orang-orang berduit. Keadaan ekonomi yang sangat parah menyebabkan sebagian besar anak-anak Indonesia terpaksa tidak meneruskan pendidikannya, karena kekurangan biaya.

Namun, setelah terjadi perubahan politik di negeri Belanda sebagai akibat kemenangan golongan liberal, pada pertengahan abad ke-19, kondisi pendidikan di Indonesia mulai diperhatiakan. Golongan liberal mendesak pemerintah Hindia-Belanda agar membuka kesempatan bagi anak-anak Indonesia untuk mendaptkan pendidikan.
Ketidakadilan, kemiskinan, diskriminasi, pembodohan yang terjadi di Indonesia ternyata diamati oleh negarawan-negarawan di Belanda. Muncul tokoh-tokoh yang mengkritik pemerintahannya sendiri. Salah satu tokoh yang duduk di barisan utama pengkritik adalah van Deventer, artikelnya yang dimuat di majalah De Gids dengan judul “Een Eereschuld” ( Utang Kehormatan ) bercerita bahwa kekosongan khas Negara Belanda telah di penuhi oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah berjasa membantu pemerintah Belanda dalam pemulihan resesi ekonomi. Utang budi  itu wajib dibayar dengan peningkatan kesjahteraan bangsa Indonesia melalui edukasi, imigrasi, dan irigasi.
Desakan-desakan golongan liberal tersebut kemudian dirumuskan dalam suatu kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, yakni yang di sebut dengan Politik Etis. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan budaya rakyat Indonesia.
Politik etis  dilakukan dengan membuka skolah-sekolah, malaui sekolah dasar sampai dengan peguruan tinggi. Jika dikaji lebih mendalam, pengadaan sekolah itu bukan murni politik balas budi sebab keberdaan sekolah itu kuga membantu Belanda untuk mendapatkan tenga kerja yang terdidik dan murah.
Sejak diterapkan kebijakan itu, pendidikan di Indonesia mengalami perkembangan. Sekolah-sekolah banyaj didirikan. Bahkan, pada tahun 1867, didirikan sebuah departemen pendidikan, agama, dan industri.
Kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak-anak Indonesia semakin ditingkatkan pelaksanaan politik etis di bidang pendidikan dilaksanakan dengan jalan penambah jumlah sekolah-sekolah, antara lain:
  1. pada tahun 1900 didirikan OSVIA ( Opleding School Voor In Iandsche Ambtenaren ), yaitu sekolah pamong praja untuk mempersiapkan calon pegawai negeri rendahan,
  2. pada tahun 1902 didirikan STOVIA ( School Tot Opleding Van Indische Arten ), yaitu sekolah tinggi kedokteran di Jakarta untuk mempersiapkan tenaga-tenaga dokter,
  3. pada tahun 1914 didrikan HIS ( Hollandsch Inlandsche School ), yaitu sekolah dasar berbahasa Belanda, dan
  4. sekolah teknik juga didrikan, seperti THS ( Technische Inlandsche School ) di Bandung, RHS ( Rechts Hoge School ), dan GHS ( Geneeskundige Hoge School ) di Jakarta.

Namun demikian, penerapan kebijakan tersebut sangat deskriminatif. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan golongan pribumi pada kelas nomor tiga ( terbawah ) setelah golonhan Eropa dan golongan Asia Timur. Sebgai masyarakat kelas tiga, golongan pribumi nonpriyayi pada awal pelaksanaan politik etis, sangat dibatasi kesempatan belajarnya. Mereka hanya boleh belajar disekolah Ongko Loro, yaitu Sekolah Jawa dengan tingkat pengetahuan yang rendah.
.
Berikut pembagian sekolah  yang bersifat diskriminatif.
  1. Volkschool, untuk golongan pribumi tingkat rendah.
  2. HIS, untuk golongan pribumi golongan menengah.
  3. ELS Europaesche Lager School ) yang didirikan tahun 1817, untuk orang-orang Belanda dan pribumi golongan atas.
  4. HCS ( Hollands Chinese School ), untuk orang-orang Cina.
Ternyata berdrinya sekolah-sekolah tersebut telah melahirkan golongan terpelajar. Mereka itulah yang menjadi motor dalam tumbuhnya nasioanlisme atau semangat kebangsaan Indonesia. Mereka merupakan penggerak perjuangan Indonesia dalam menentang penjajahan.
Semangat nasionalisme dan perjuangan perlawanan terhadap penjajah oleh para cedik pandai, sebenarnya bukan dimulai dari penerapan pendidikan alat berat oleh Belanda. Perlawanan-perlawnan tersebut telah bergulir jauh sebelumnya, yang dilakukan oleh para pelajar dari lingkungan pesantren. Begitu bangsa Belanda menancapkan kekuasaan di tanah air ini, mereka terus melakukan perlawanan. Hal ini bukan semata-mata karena factor perbedaan agama, namun perlawanan tersebut dilakukan karena Belanda membawa cara hidup yang bertentangan dengan ajaran islam. Misalnya, meminum-minuman keras, brjudi, dan berzina. Di samping itu, didorong oleh ajaran islam yang mewajibkan umatnya untuk membela bangsa dan tanah air dalsm menegakkan kebenaran dan keadilan. Para santri melakukan perlawanan terhadap para penjajah, baik itu melalui perjuangan fisik, dakwah, ataupun melalui organisasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar